When They Laughed at My Mental Illness

First thing first, i inform you there will be a new rubric called "Opini". this is rubric will provide a space to write down all of my thoughts, i will share you what is on my mind about topics that are happening in our society. and let's jumping into it.

When they laughed at My Mental Illness
Pertama kali saya merasa harus mencari bantuan professional untuk masalah yang saya hadapi adalah ketika saya berada di tahun kedua perkuliahan. Waktu itu, saya baru putus dari pacar saya. klise memang, hanya karena putus cinta lalu pergi ke psikolog? are you kidding me?. Tapi saat itu saya merasa saya butuh bantuan. bukan berarti saya tidak punya teman untuk berkeluh kesah, saya punya. tapi mereka bilang "everything is going to be allright. you are okay". iya saya baik baik saja. saya masih bisa jalan lurus, masih bisa makan meskipun sedikit, masih bisa kuliah. tapi memulai hari dengan membuka mata yang berat, dan menjalani hari dengan seolah saya memikul batu di pundak, ini tidak mudah untuk saya. setiap pagi saya harus bangun dengan keadaan persaan yang sakit seperti ada orang yang mencoba menendangnya. hiperbola memang. tapi saya tidak mengada ada, itu yang saya rasakan. dulu. 

Long story short, kemudian saya mencoba untuk bertemu dengan psikolog di klinik universitas saya. Selama saya kuliah, saya dua kali bertemu dengan psikolog saya, ditahun ke dua dan ke empat. bukan berarti selang diantaranya saya baik baik saja. pada pertemuan ke dua saya, ia memberikan kesimpulan "masalah mu bukan patah hati. tapi adalah akumulasi dari segalanya yang pernah terjadi pada masa kecil mu". pulang dari situ saya menangis sejadi jadinya. karena saya rasa, apa yang dikatakan oleh psikolog itu benar, selama ini saya seperti memakai topeng untuk diri saya sendiri, berkata segalanya baik baik saja, padahal saya tahu itu tidak. setelah lulus, i think i should seek for another help, karena ketika itu ketakutan saya kambuh. saya mencoba untuk mencari psikolog di daerah tempat tinggal saya. hari itu, kamis, Maret 2018 akhirnya saya beranikan diri ke psikolog sendiri. pada saat itu dokter memberikan saya assessment dan ia mendiagnosis saya dengan anxiety disorder dan ia meminta saya untuk terapi. biayanya mahal. terlebih saat itu saya belum bekerja. dengan tabungan saya satu satunya, saat itu saya memutuskan untuk terapi. 

Ketika ditanya apakah ketika saya menulis ini saya sudah sembuh, jawabannya belum. saya masih harus melakukan latihan emosi. Emosi saya masih seperti rollercoaster bahkan hingga tadi malam. saya masih menangis tanpa sebab, dan kemudian bahagia di waktu berikutnya, dan kemudian menangis lagi. ya seperti itu seterusnya. Saya jelas lelah dengan ini semua. ada kala dimana saya merasa saya ga tau harus melakukan apalagi, keinginan untuk self harming or even suicide already been in my mind since a long time ago. but i knew, my religion will never allow me to do that. Saya yang "ga tau apa yang harus saya lakukan" adalah titik terendah dalam hidup saya karena saya merasa segalanya jadi tidak bermakna. life still goes on, but my mind and feelings won't. it's like you don't have any desire to continue your life but you should. 

Kamu didukung kan? punya teman teman yang baik dan orang tua yang supportive? ketika statement ini muncul di kepala saya, saya hanya tertawa. Teman teman saya beranggapan saya baik baik saja, mereka bilang saya ga boleh hiperbola. "Ah lu mah gapapa kali, jangan lebay ah" and most of my friends said that. jadi saya berpikir, apapun yang saya lakukan selama ini normal, termasuk pernah berpikiran untuk mengakhiri hidup. konyol memang kalau dipikir pikir, disaat lingkungan pertemanan mu bahkan lebih judgemental dibanding dirimu sendiri. Saya tidak tahu sejak kapan, tetapi isu ini kemudian muncul dimana mana setelah ada seorang yang berpengaruh melakukan aksi bunuh diri karena depresi yang dideritanya. dan selanjutnya yang terjadi semua orang menjadi sok peduli dengan masalah mental Illness. After that accident happened, i thought it would be easier for them to understand me. but they didn't. i'm still feeling so lonely afterwards. hampir semua orang yang menyuarakan "Dengarkan teman mu ketika dimasa masa sulitnya- jangan biarkan dia sendiri-depresi bukan sesuatu yang main main" tidak benar benar melakukan itu di dunia nyata. Pada dasarnya mereka setuju dan memang seperti itulah normanya, namun terkadang apa yang seharusnya benar dan patut dilakukan tidak terjadi di kehidupan yang sebenarnya. 

iya, tapi kamu tetap punya orang tua yang mendukung kamu!. Satu kalimat yang lagi lagi membuat saya berpikir. masih tentang masalah bangsa ini yang menganggap mental Illness adalah masalah tabu yang tidak seharusnya terjadi. pemikiran bahwa "kamu depresi" sama dengan "kamu gila" masih banyak terjadi. itu yang terjadi pada kedua orang tua saya. masih segar di ingatan saya ketika mereka akhirnya sadar kalau anaknya pergi ke psikolog untuk terapi. satu kalimat yang keluar dari mereka adalah "hahahaha ngapain ke psikolog, emang apa yang lu rasain? ada kemajuan gak? gak ada kan?" seketika itu saya menjadi hina. sampai saat ini saya merasa bahwa kenyataan orang tua saya yang mengetahui saya bertemu psikolog adalah penyesalah terbesar yang saya. saat itu, dihadapan keluarga besar saya mereka memberikan peryataan yang membuat saya malu pada diri saya sendiri. Mereka beranggapan bahwa psikolog tidak pernah membantu dan "itu" hanya untuk orang orang yang gila. Stigma ini harus segera dihentikan. pertanyaannya ada berapa banyak orang yang harus menanggung beban permasalahannya sendiri yang kemudian berakhir di rumah sakit jiwa?  sedangkan realitanya saat ini lebih banyak orang yang tidak kuat menanggungnya dan lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya. apakah harus ada lagi orang orang yang dikorbankan untuk membuat masyarakat kita sadar bahwa mental illness apapun bentuknya bukan hanya lelucon?

Saya tidak ingin menjadi klise dengan menyuarakan "peduli lah dengan orang disekitar anda" karena saya rasa slogan itu sudah ada di mana-mana. tapi, marilah melakukan aksi nyata dan bukan hanya sharing di media sosial. karena nyatanya, banyak diantara teman teman kita yang mengalami mental illness menolak menggunakan media sosial karena ketakutan atau perasaan lain yang dideritanya. lalu kemudian apa fungsinya bagi kita? Karena saya tau organisasi seperti Mentalhealth.org atau Into the Light membuat slogan tersebut untuk menyadarkan kita semua, bukan hanya sekedar retweet dan sharing tanda setuju terhadap slogan tersebut. Mulailah untuk bertanya kepada teman anda, dan jadilah pendengar yang baik, dan kita semua tidak punya hak untuk menjudge orang lain atas apa yang ia rasakan. jika kita merasa itu bukan kapasitas kita, maka bantulah orang disekitar kita untuk bertanya pada yang lebih ahli. bukan berarti orang yang mengalami mental illness butuh diistimewakan. (beberapa kali saya baca di media sosial ada pernyataan seperti ini) percayalah, mereka yang sedang mengalami masalah ini tidak pernah sedikitpun terbesit untuk minta diistimewakan, karena pada dasarnya mereka sedang berjuang melawan ketakutan mereka dan kesendirian mereka. 

Untuk orang tua, mulailah peduli dengan apa yang anak kalian rasakan. ajaklah ia berbicara tentang kesehariannya. karena nyatanya, ini yang saya tidak dapatkan dari kedua orang tua saya. latih ia untuk bisa mengutarakan pendapat dan perasaannya sedini mungkin. ketika ia menghadapi masalah, jangan tertawakan ia dan jangan merasa anda lebih mengerti perasaannya karena pada dasarnya semua manusia tidak sama dalam menghadapi masalah meskipun itu anak anda sendiri. dan untuk kalian yang merasakan hal yang sama dengan saya atau bahkan lebih parah dari saya, saya tidak mencoba untuk menggurui, tapi, percayalah pada diri anda sendiri. you are the control of you mind and body. jangan percaya kata orang yang tidak paham masalah anda. jika kalian merasa "saya butuh bantuan" sementara orang lain bilang "anda tidak apa apa" maka percayalah pada intuisi anda. ceritalah pada orang yang anda percaya, dan coba cari bantuan tenaga professional jika anda dirasa tidak mampu mengatasinya, atau carilah informasi mengenai komunitas dan organisasi yang memberikan kepedulian kepada permasalahan yang anda derita. jangan pernah malu pada kondisi anda dan terima diri anda apa adanya (actually, this was kinda hard for me at the first time, but surely you can do it). dan yang terpenting, anda tidak pernah sendiri. when you feel so lonely, just remember you have god with you, he will never leave you. (at least, this is work for me when nobody doesn't believe me). 

"When you are fighting against mental illness, it is like you are fighting a silent battle. no one knows how hard you are constantly having to fight, and no one else knows the pain you have. you should be proud of that, even when you feel like you are failing. you deserve a medal of honour, because that fight is real and it's more difficult than any other people even realise" -Pinterest.

Comments

Popular Posts